Selasa, 30 Agustus 2016

Sawahlunto: Batu Bara, De Grave, Tambang dan Orang Rantai.



Sawahlunto kota Tambang. Rasanya tulisan ini kerap saya temui ketika mobil yang saya tumpangi membelah jalanan Kota Sawahlunto. Berada sekitar 95 km sebelah timur laut Kota Padang dan membutuhkan waktu berkendara sekitar 4 jam.

Destinasi wisata unggulan di Sawahlunto pun berhubungan dengan tambang. Pada kegiatan #PesonaMinang bersama Pesona Indonesia beberapa waktu lalu saya berkesempatan mengunjungi 4 diantaranya yakni Lubang Mbah Soero, Museum Tambang, Museum Kereta  dan Gudang Ransoem yang keempatnya berkaitan satu sama lain.

Cuaca panas tak menghalangi langkah saya ketika berusaha mengejar teman-teman lain yang sudah berjalan terlebih dahulu menuju Lobang Mbah Soero. Jarak yang dekat antara Gudang Ransoem dan Lobang Mbah Soero membuat tim memutuskan untuk berjalan kaki. Saya dan teh Nita tertinggal dibelakang karena kami sibuk membeli berbagai buku mengenai Sawahlunto terlebih dahulu.




Tiba di Lokasi saya disambut papan nama besar bertulisakan InfoBox. Memasuki gedung InfoBox atau yang lebih dikenal sebagai Lobang Mbah Soero maka hal pertama yang nampak pada ruang pendaftaran adalah seonggok rantai dalam etalase kaca yang mengingatkan kita akan orang rantai. Semula Infobox adalah sebuah gedung pertemuan buruh yang juga menanyangkan berbagai hiburan yang diadakan setelah hari gajian. Pada lantai 2 gedung ini terdapat galeri foto sedangkan bagian belakang ruang pendaftaran berisi sejumlah sepatu boot dan helm yang harus dikenakan oleh pengunjung sesaat sebelum memasuki Lobang Mbah Soero yang berada tepat di halaman samping gedung info box.




Mengunjungi Infobox sama seperti kita belajar mengenai sejarah kota Sawahlunto. Sejarah Kota Sawahlunto sebagai kota Tambang telah dimulai sejak pertengahan abad ke 19 ketika C. De Groot van Embden memulai penyelidikan kemungkinan keberadaan batubara pada tahun 1858. Namun nama yang jutsru dikenal luas berjasa menemukan batubara di Sawahlunto adalah Willem Hendrik De Grave, seorang geolog kelahiran Froon-Acker 15 April 1840. Ia dibesarkan dalam lingkungan yang mengedepankan pendidikan hingga akhirnya mendapatkan gelar sarjana pertambangan saat ia berusia 19 tahun. Karirnya dimulai dengan mengikuti pelatihan dari pemerintahan kerajaan Belanda pada 14 Desember 1861 hingga akhirnya berangkat ke Hindia Belanda pada Agustus 1862.

Di Hindia Belanda ia mulai dengan menjadi asisten C. De Groot van Embden di Bogor. Tugasnya kala itu adalah membantu penelitian dan pemetaan kandungan bahan mineral. Ia pun sempat ditugaskan untuk peneliti kandungan timah di Bangka, Seram dan Jawa Barat sebelum akhirnya berangkat ke pedalaman Minangkabau dengan tugas peneliti kemungkinan keberadaan kandungan biji tembaga. Tugas ini ia kerjakan dengan baik walau ternyata kandungan biji tembaga di pedalaman Minangkabau tidaklah menggembirakan. Tugas di Bumi Andalas pun berlanjut ketika ia menerima surat tugas pada 26 Mei 1867 untuk meneruskan penelitian mengenai batubara di Ombilin Sawahlunto. Berhubung penelitian batubara di Ombilin ini sudah pernah dilakukan oleh C. De Groot van Embden, maka tidak ada kesulitan yang berarti untuk De Grave. Ia mulai penelitiannya dengan menbaca laporan-laporan penelitian De Groot.

De Grave memulai penelitiannya dari hulu sungai Ombilin yang berada tak jauh dari Singkarak dengan melibatkan pula penduduk lokal. Ia tak hanya mengarungi sungai tetapi menaiki bukit, keluar masuk hutan belantara dan menuruni lembah. Pada tahun 1868 De Grave mengambil kesimpulan bahwa hasil penelitian menunjukkan jalur Ombilin benar-benar kaya akan batubara dengan perkiraan lebih dari 200 juta ton. Hasil penelitian De Grave membuat pemerintah Hindia Belanda senang bukan kepalang. Bagimana tidak, dengan batubara sebanyak itu mereka tidak perlu lagi membeli batubara dari Afrika yang harganya mahal.

Tambang batubara pun dibuka dibeberapa tempat. Para pekerja didatangkan dari penjara-penjara di Padang dan pulau Jawa atas perintah Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Mendatangkan pekerja dari penjara dinilai memakan biaya yang lebih murah, selain memangkas pengeluran untuk penjara, batu bara didapat dan uang pun mengalir dengan deras. Para perkerja inilah yang dikenal sebagai orang rantai, karena selama mereka bekerja dan beraktifitas tangan serta kaki tak lepas dari rantai. Hal ini untuk mengantisipasi agar para pekerja tidak melarikan diri.

Puas mendapat penjelasan mengenai sejarah kota Sawahlunto, kami mengenakan sepatu boot dan helm pengaman lalu beranjak menuju Lobang Mbah Soero. Saya melihat sebuh pintu melengkung dengan tulisan 258mdpl serta tangga batu terjal yang harus kami turuni untuk masuk kedalam bekas lubang tambang ini. Lobang Mbah Soero dikenal juga sebagai Soegar dan dibuka pada tahun 1898. Namun pada tahun 1932 tambang ini ditutup karena sejumlah alasan diantaranya adanya gas yang berbahaya, rembesan air dari sungai Lunto dan ada rencana untuk menjadikan tambang ini sebagai cadangan batubara. Lubang tambang dengan kedalaman 258mdpl ini diberi nama Soegar oleh Belanda yang berarti gula, hal ini dikarenakan hasil buminya banyak dan keuntungan yang dicapainya terasa manis seperti gula.




Pada tahun 2007 tambang dibuka kembali untuk dijadikan sebagai destinasi pariwisata mengingat nilai sejarah yang ada didalamnya. Lorong-lorong diperbaiki supaya keamanan pengunjung terjaga. Namun ada bagian-bagian yang masih menampakkan keasliannya seperti frame kayu yang dulunya digunakan sebagai kusen pintu. Menurut pemandu kami, beberapa lorong ditutup berdasarkan permintaan dari paranormal yang ikut serta pada saat pembukaan kembali lorong ini. Saat itu diadakan pula penelitian ketahanan bangunan struktur penyangga lalu  ditambahkan blower untuk mengalirkan oksigen.



Lebih lanjut bapak pemandu menjelaskan bahwa pada  peta lama, terdapat 6 level dalam tambang ini , namun yang dibuka saat ini baru level 1. Karena level lainnya masih terendam air yang terus merembes. Pemandu kami juga menjelaskan cara mengambil batubara yaitu  dengan membuat lorong vertikal bisa sampai puluhan kilometer. Jika mereka dirasa sudah tidak ada lagi batu bara yang dapat diambil mereka menggali mundur dan membuat lorong ke kanan dan kirinya sambil tak lupa membuat penyangga agar meminimalisir bahaya runtuh.

Tiba di level 1 kami diarahkan untuk melalui lorong disebalah kanan, di kiri dan kanan masih bisa kita jumpai batubara. Tahukah kamu, ternyata saat tambang ini direncakan sebagai cadangan batubara, diatasnya lalu dibangun rumah-rumah karyawan. Seiring berjalannya waktu pernah ada wacana untuk membuka tambang dan mulai produksi kembali namun hal ini dirasa sulit karena rumah-rumah yang berdiri diatasnya bukan lagi hanya milik karyawan namun milik warga. Sampai saat ini  diperkirakan masih terdapat deposit 40 ribu juta ton batubara dengan kalori sebesar 6.000-7.000 dan merupakan kualitas terbaik nomor tiga di dunia. Ketebalan lapisan batubara jenis C saja bisa sampai 15 meter.  Saat ini sedang dilakukan penyelidikan dan rencana untuk penambahan jalur wisata sepanjang  800 meter.

Ketika saya melangkahkan kaki didalam lorong yang sempit dan lembap, dengan air yang masih terus menetes saya membayangkan betapa sulitnya hidup orang rantai.  Orang rantai ternyata kebanyakan berasal dari penjara-penjara di Surabya, Glodok, dan penjara Cipinang di Batavia. Mereka dibawa dari Pulau Jawa dengan kapal melalui pelabuhan Tanjung Priuk menuju Pelabuhan Emma Haven (teluk bayur) lalu dilanjutkan dengan kereta menuju Sawahlunto. Perjalanan tersebut memakan waktu 4-7 hari tergantung pada kecepatan kapal. Menurut data milik Hindia Belanda diketahui bahwa pada tahun 1892 terdapat 1500 tahanan yang dikirim ke Sawahlunto.  Tahanan dengan fisik yang gemuk dan dirasa kuat ditempatkan untuk bekerja di dalam lubang tambang. Pekerjaan di tambang meliputi menggali batu bara, mengangkat balok-balok kayu, serta membuat penyangga lorong sementara mereka yang dianggap memiliki fisik lemah mendapat tugas dibagian perawatan dan pemilahan batubara.

Pembagian kerja di dalam tambang dilakukan berdasarkan sistem bergilir dengan pembagian giliran kerja  1: dimulai jam 6 sampai jam 2 siang, giliran kerja ke- 2  mulai jam 2-10 malam dan giliran kerja ke- 3 jam 10 malam – 6 pagi. Biasanya mereka yg mendapatkan giliran kerja pertama akan bangung pukul 4 pagi lalu solat subuh, mandi serta berkemas lalu kaki, tangan dan leher mereka pun dirantai. Mereka berjalan secara berkelompok sekitar 5-7 orang dengan rantai yang terhubung satu sama lainnya melintasi jalanan kota menuju lubang tambang. Sebelum memulai pekerjaan diadakan apel pagi di dekat tambang, disini mandor akan mengabsen mereka dan memeriksa tubuh mereka dengan teliti, korek api tidak diperkenankan dibawa dalam lubang karena dikhawatirkan memicu kebakaran mengingat adanya gas yang berbahaya. Benda-benda tajam pun termasuk benda terlarang untuk meminimalisir kemungkinan perkelahian antar orang rantai.

Mandor lalu akan menyuruh orang rantai masuk kedalam lubang, berbaris menghadap dinding lorong, dan mulai bekerja.  Mandor pun bisa sewaktu-waktu memberi perintah untuk pindah yang berarti orang rantai harus bergeser ke kiri atau kanan mengikuti perintah. Apabila orang rantai berhenti mengayunkan belincong (alat untuk menggali batubara) niscaya bentakan serta caci maki yang didapatkan mereka, dan jika ada yang menolak bekerja maka timah panas pun akan melesat mengambil nyawa secepat kilat. Area bekerja yang sempit, udara yang pengap, panas dan resiko kecelakaan kerja yang tinggi membuat pekerjaan di dalam tambang menjadi sangat berat apalagi setiap orang rantai memiliki target penggalian sebesar 1.8 ton setiap giliran kerjanya. Terbayang bagaimana mereka harus bekerja keras.

Selain kewajiban bekerja di tambang, orang rantai mendapatkan hak berupa ransoem dengan menu sederhana yang dimasak di Godeang Ransoem, cemilan berupa lapek, pisang goreng dan teh manis  yang diberikan disela jam istirahat kerja, uang gaji sebesar 7 sen per hari (tahun 1902, lalu meningkat menjadi 11,5. ) serta uang premi yang sayangnya uang tersebut pun biasanya habis begitu saja untuk hiburan yang disediakan oleh pengelola tambang. Orang rantai pun kerap  mengalami pemotongan uang gaji dan premi oleh oknum pejabat Belanda. Setelah jam kerja selesai, orang rantai kembali diajak berjalan melintasi kota menuju tangsi, namun ada juga kebijakan yang menyatakan bahwa orang rantai boleh menghirup udara diluar tangsi semisal berjalan di pasar sampai dengan pukul 5 sore itu pun dengan keadaan masih mengenakan rantai.

Orang rantai memang didatangkan dari berbagai penjara namun pada masa itu penghuni penjara bukan hanya diisi oleh orang jahat. Banyak pula orang rantai yang sejatinya dipenjara dalam usahanya membela republik atau sekedar mempertahankan tanah mereka bahkan memberontak pada pemerintahan Hindia Belanda.




Lobang Mbah Soero dan lubang-lubang tambang batu bara lainnya pernah mencapai masa jaya nya, pernah menghasilkan uang yang sangat amat banyak yang sayangnya tidak dinikmati dengan layak oleh pribumi namun mengalir kepada pemerintahan hindia belanda. Lubang-lubang ini kini mengingatkan saya betapa kejamnya penjajahan, betapa sulitnya hidup yang dijalani orang rantai bahkan mungkin orang-orang yang justru membela tanah air kita.




2 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.

    BalasHapus
  2. Gw masih inget masuk ke lubang ini, meriang2 gimana gitu aura mistis nya kuat banget

    BalasHapus